Rabu, 01 Agustus 2012

Sungai Serayu


Sungai Serayu adalah legenda. Sungai besar di Jawa Tengah yang berhulu di Bimalukar Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara itu membelah kota dan perkampungan disepanjang wilayah Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.

Pesona sungai Serayu pernah dikenalkan melalui lagu oleh komponis Soeteja. Keindahannya digambarkan sebagai berikut :

”Di tepinya sungai Serayu. Waktu fajar menyingsing. Warna airmu berkilauan. Nyiur
melambai-lambai. Gunung Slamet yang indah. Tampak jauh di sana. Bagai lambang
kemakmuran tirta kencana...”

Bagai takdir alam yang selalu bermata dua. Keindahan Serayu yang memesona setiap musim penghujan membawa bencana banjir dan tidak jarang menyeret korban jiwa. Kerugian pernah dilaporkan jurnalis Wahyu Mandoko pada 2001 menelan angka puluhan miliar rupiah akibat rusaknya rumah penduduk, lahan pertanian, jalan dan jembatan serta sarana kepentingan umum lainnya. (suarapembaruan.com)

Kisah sedih Serayu pernah dilaporkan pula berabad silam dalam buku babad (sejarah) Bandjir Serajoe Banjoemas tahun 1582. Dimana ditulis dengan kalimat bahasa Jawa “ana utjeng mentjlok  ing manggar atau (ada uceng (sejenis ikan) hinggap di manggar (mayang kelapa)". Ungkapan itu menunjukkan bahwa banjir pada tahun 1582 pernah terjadi dengan genangan setinggi pohon kelapa.

Sungai yang selalu berair keruh apabila usai hujan ini menandakan bahwa ada problem lingkungan hidup atau kerusakan konservasi pada kanan-kiri daerah hulu. Banyak pihak seharusnya lebih peduli memelihara kelestarian lingkungan, membudayakan program kali bersih, dan mengusahakan pertanian yang mempertimbangkan ambang mutu lingkungan.

Moda penyeberangan perahu di Dukuh Winangan Pucang - Banjarnegara (foto doc. sagiyo)
Entah keganasan atau pesona Serayu yang masih terekam diingatan masyarakat, tapi sepatutnya andil besar Serayu dalam produksi pangan, energi kelistrikan, moda angkutan tradisional dan wisata berbasis sungai di Jawa Tengah sudah cukup untuk memberinya perhatian dan kasih sayang sebagaimana warisan bagi anak cucu kita.


Selasa, 31 Juli 2012

Teladan Kesederhanaan Seorang Pejabat

Bupati Soemitro & istri.
Ditengah kehidupan yang makin materialis, dimana kaum muda kehilangan teladan hidup sederhana. Sosok Bupati Banjarnegara Ke-5 Soemitro Kolopaking merupakan inspirasi dan teladan pejabat tinggi yang tetap hidup bersahaja.
Kehidupan Bupati Soemitro tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kesederhanaan. Sebelum berkelana jauh ke Eropa semasa belia pada usia 20-an, pola hidup bersahaja sudah ditanamkan kuat oleh kedua orang tuanya sejak kecil di rumah.
Ia mengakui dalam biografinya, “Dari kecil mula saya oleh orang tuaku dididik untuk selalu hidup sesederhana mungkin, tidak menghiraukan pangkat-pangkat yang tinggi, tidak menghiraukan turunan bangsawan, tidak menghiraukan pujian, tidak menghiraukan popularitas yang kosong, partai-partai dan ormas-ormas, dan lainnya bersama-sama Pak Kromo di Pedusunan, Mbok Bikah dan Mbok Sarwinem diwarung kecil, dan pedagang-pedagang pasar di desa. Mereka semua itu adalah Saudaraku.”
Tidak jarang saat turba di wilayah Bupati Soemitro beristirahat tengah hari dengan makan minum bersama kelompok masyarakat yang tengah sibuk gotong royong. Tidak sungkan makan dan minum di tanggul ataau jalan yang sedang dibikin atau dekat saluran irigasi yang baru digali.
Kedekatan yang sangat antara pejabat tinggi dan masyarakat dimaksudkan untuk mematahkan mitos sakral jabatan. “Ada yang berkata, itu tidak sesuai dengan kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosot kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosotkan prestise seorang pembesar?” Ia mengutip keraguan kalangan kolot.
Menurutnya, hal itu tidak benar. “Tidak, pada mulanya cara kekerjasama begitu memang dulunya dianggap aneh oleh rakyat jelata dan kaum feodal. Sekarang dimasa ‘civic mission’ anggapan kolot itu telah berkurang atau lenyap. Sebaliknya, rasa persaudaraan dan saling percaya dengan perlahan-lahan mulai bertambah dan berkembang.”
Baginya, memang pekerja kasar seperti memikul batu atau tanah, masuk keselokan untuk mengatur air supaya sawahnya subur, atau mencangkul di tegalan, adalah pekerjaan yang phisiknya kotor, tapi mentalnya bersih. Berlainan sekali dengan menjalankan pekerjaan profesi secara cakap, ahli dan halus, tapi mudah muncul manipulasi-manipulasi yang ditunjukan ke korupsi yang bermacam-macam.

Era kepemimpinan Soemiitro Kolopaking sudah setengah abad berlalu. Namun hidup bersahaja yang dicontohkannya masih relevan untuk diteladani kaum muda, masyarakat dan kalangan pegawai pemerintah utamanya para pejabat.

Minggu, 29 Juli 2012

Soemitro Kolopaking Merajut Ketokohan Lokal



Semasa Pemerintahan Bupati Soemitro Kolopaking antara tahun 1927-1947, Kabupaten Banjarnegara memiliki sekitar 264 desa. Setiap 4-5 desa disatukan secara psikologis oleh seorang pinisepuh (untuk wilayah Karesidenan banyumas dinamakan Penatus, untuk wilayah Kedua dinamakan Glondong). Di Banjarnegara waktu itu terdapat sekitar 50 penatus.
Bupati  tiga zaman ini dikenal mampu membina hubungan baik dan erat dengan desa-desa serta menciptakan persaudaraan yang sedalam-dalamnya. Ia ternyata memberdayakan ketokohan lokal untuk menciptakan sistem hubungan kemasyarakatan yang efisien dan produktif bagi pemerintahan dan pembangunan. Bagaimana ia merajut ketokohan lokal di Banjarnegara?
Penatus sebagai Ujung Tombak
Sebagai Bupati, ia memandang penting laporan resmi dan rutin para camat yang dahulu disampaikan lewat wedana. Berdasarkan laporan itu, Bupati mengadakan turba (turun kebawah) dan penelitian, diikuti wedana, camat, dan sekelompok lurah. Jika diperlukan disertakan pegawai tingkat Kabupaten di bidang-bidang, seperti kepolisian, pertanian, pengairan, keagamaan, pendidikan, dsb.
Namun disamping laporan resmi, Bupati harus menjalin hubungan kemasyarakatan dengan desa secara pribadi dan rahasia. Bagaimana kehumasan ini dijalankan? Mula-mula Bupati harus memiliki penatus dengan syarat jujur, progresif dengan ukuran desa, berani, terus terang dan memiliki pengalaman hidup yang luas baik diluar maupun didalam desa.
Sebagai Bupati ia rajin menghubungi orang-orang tua itu dari waktu ke waktu. Kemudian merajutnya menjadi anyaman jaring sosial yang efektif menggerakan pembangunan.
Jam kunjungan dipilih selepas maghrib karena umumnya mereka usai bekerja diladang. Soemitro biasanya mendatangi pinisepuh sendirian, membawa senapan angin (ketika itu) untuk membidik hewan musuh pertanian. Ia berpakaian sangat sederhana, dan membawa oleh-oleh kue, tempe keripik, kacang goreng, dsb.
Ia akan menyapa para pinisepuh dengan ‘kaki’, sementara masyarakat pedusunan menyebut Bupati masa itu dengan ‘Ndara  Kanjeng’. Tidak lama kemudian kabar kedatangan Ndara Kanjeng menjadi magnet yang serentak menghimpun tetangga kanan-kiri dan masyarakat sedusun. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan tulus. Bupati lebih memilih banyak mendengarkan dengan senang hati dan terbuka laporan tidak resmi masyarakat.  Masyarakat sendiri diberi kesempatan sebanyak mungkin menyampaikan aspirasi, ‘ngudarasa’ permasalahan, unek-unek dibidang ekonomi, pertanian, sosial  dan masalah lainnya yang dianggap urgen dipedusunan.
Pada waktu sebelum tengah malam, ia akan kembali jalan kaki 8-10 km dengan diantar 3-4 pemuda yang membawa obor kalau rembulan gelap, menuju kendaraan di jalan besar. Berganti-ganti ia menyerap aspirasi diberbagai penatusan.
“Demikianlah saya menghubungi berganti-ganti semua penatusan, dan lama-kelamaan terlihatlah kemajuan desa dalam beberapa bidang. Dengan inti kerjasama, orang-orang tua dalam sistem ini merupakan ‘spear point’ (ujung tombak), yang dapat menerobos dan menyingkirkan secara diam-diam puluhan, bahkan ratusan kesulitan dan pertengkaran, tanpa kekerasan dan tanpa biaya sedikitpun. (sumber: Buku Coret-coretan Pengalaman Sepanjang Masa, Otobiografi Soemitro Kolopaking).


Sabtu, 28 Juli 2012

Ngabei Mangunyuda Sedoloji

Ngabei Mangunyuda adalah nama besar dalam khasanah sejarah Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara. Dalam periodisasi babad dan sejarah pemerintahan Banjarnegara, era ketokohannya sangat menonjol semasa era Kadipaten Banjarpetambakan.

Menurut Sejarawan Banjarnegara, Adi Sarwono era pemerintahan Banjarnegara dapat dibagi empat masa, yakni yakni periode I dimulai saat Kyai Maliu membuka pemukiman Banjar,  periode II era pemerintahan Banjarpetambakan yang dimulai dengan Kyai Ngabei Wirayuda sebagai adipati pertama, periode III era pemerintahan Banjarwatulembu, dan periode IV era pemerintahan Banjarnegara pasca Perang Diponegoro.

Ngabei Mangunyuda merupakan anak dari R Ngabei Banyakwide dan cucu Raden Tumenggung Mertayuda (Bupati ke-4 Banyumas). Masyarakat Kabupaten Banjarnegara mengenang ketokohannya sebagai adipati patriotik yang sangat keras memusuhi dan memimpin perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Darah anti penjajah terus merembes pada keturunannya. Puteranya R Ngabei Mangunyudo II bahkan memindahkan pusat pemerintahan baru ke sebelah barat sungai Merawu yang lebih aman dan memberi nama baru Banjarwatulembu (Banjar Selo Lembu).

Makam Ng Mangunyudo Sedoloji
Geger Pecinan di Kartasura pada tahun 1743 merupakan puncak perlawanan Ngabei Mangunyudo kepada Belanda. Beliau memimpin langsung prajuritnya dengan menyerang benteng (loji) VOC di Kartasura. Namun dalam penyerangan itu ia meninggal. Peristiwa itu kemudian membekaskan tokoh Mangunyudo I dengan sebutan nama Mangunyudo Sedo Loji.

Ngabei Mangunyudo memiliki tiga putera, yakni Bagus Katama, Bagus Bati, dan Nyai Kaduruan I Rama (http://pl.rodovid.org). Jasad Ngabei Mangunyudo Sedoloji dimakamkan di bumi yang selalu dicintainya yakni Kabupaten Banjarnegara. Tepatnya di Desa Petambakan Kecamatan Madukara.

Jumat, 27 Juli 2012

Kirab Hari Jadi

Gunungan Hari Jadi (doc. Humas)

Kirab Gunungan merupakan salah satu ciri khas yang menandai Kirab Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara yang berlangsung setiap tanggal 22 Agustus. Gunungan berisi  makanan, aneka jajan pasar, dan bermacam hasil bumi tersebut dibawa bersama iring-iringan kirab. Kirab merupakan simbolik perpindahan dari ibu kota lama Banjarwatulembu (kini Desa Banjarkulon) ke Kota Banjarnegara semasa Bupati Pertama  KRT. Dipayuda IV (1831-1846). Kirab diikuti Bupati dan jajaran pejabat daerah baik sipil maupun militer sebagai penanda bedol kadipaten ke pusat pemerintahan baru yang lebih strategis.

Ritual gunungan makanan agaknya mereferensi tradisi grebeg di Keraton Yogyakarta yang sudah dimulai semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).Di Keraton Yogyakarta gunungan grebeg berjumlah delapan, yakni (gunungan dharat, gepak, bromo, lanang, wadon, pawuhan (Jogjatrip.com). Sedangkan pada saat Kirab Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara ada tiga gunungan, yakni gunungan berisi aneka makanan dan jajan pasar, aneka jenis sayur mayur, buah-buahan dan hasil bumi lainnya. Keberadaan gunungan-gunungan tersebut merupakan simbol atau cita-cita kemakmuran (gemah ripah loh jinawi) bumi Banjarnegara yang akan dipersembahkan oleh pemerintahan kepada segenap rakyat.

Kirab Hari Jadi dari kota lama menempuh jarak sekitar 7 km. Melintasi perdesaan sejuk dan jembatan yang membentang diatas sungai Merawu dan sungai Serayu. Iringan rombongan  menggunakan delman atau dokar yang ditarik kuda. Perjalanan napak tilas merupakan pemandangan unik dan semarak yang hanya terjadi setahun sekali di Kota Dawet Ayu. 

Setelah rombongan sampai gedung DPRD, mereka akan berjalan kaki perlahan menuju pendopo kabupaten guna melaksanakan prosesi yang ditandai penyerahan Pataka Lambang Daerah dan Bendera Merah Putih dari ketua DPRD kepada Bupati dan Wakil Bupati. Rombongan kirab membawa serta gambar seluruh mantan Bupati (dan wakil Bupati), kemudian iringan gadis berambut panjang, pusaka, serta gunungan grebeg.

Seluruh protokoler, pidato dan sambutan pada prosesi ini menggunakan bahasa aseli banjarnegara-banyumasan.Sementara pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional khas beskap banyumasan.

Magnet diluar protokoler prosesi Hari Jadi adalah keberadaan gunungan grebeg yang ditunggu-tunggu masyarakat dan pengunjung atau wisatawan. Gunungan ini merupakan simbol kemakmuran. Saat gunungan tiba persis di depan gerbang pendopo, maka para pengunjung sontak berebut isi gunungan. Mereka bahkan rela memunguti setiap serpih sayuran maupun bulir biji dan makanan yang berserakan.
 
Mereka percaya bahwa gunungan itu sakral sehingga makanan maupun remah-remahnya yang bisa dipungut mengandung berkah. Sementara benih dari sayur atau buah-buahan yang bisa ditanam disawah atau ladang akan menambah kesuburan tanah, bebas dari hama dan kelak menghasilkan panen yang melimpah.

Kirab hari jadi hanya salah satu mata acara. Kegiatan perayaan merangkai pula acara gelar kesenian rakyat, pentas musik , bhakti sosial, donor darah, ziarah ke makam mantan bupati, kompetisi olah raga, sarasehan nilai-nilai budaya, dan evaluasi prestasi pembangunan wilayah. 

Kamis, 26 Juli 2012

Mengibarkan Kembali Merah Putih

17-08-1945 di Jalan Pegangsaan Jakarta
17-08-2011 di Istana Negara Jakarta

17-08-2010 di Lap. Kecamatan Pagedongan
17-08-2011 diAlun-alun Kota Banjarnegara


Sebelum saya tahu Merah Putih sebagai Bendera Nasional, saya mengenal dwi warna di kampungku sebagai bubur abang-putih. Ritual membuat bubur abang-putih selalu ada ketika anak yang baru lahir di kampung akan diberi nama. Orang tua pun masih membuatkanya setiap hari pasaran. 

Tradisi itu kini memudar. Tradisi yang makin hilang itu sama persis dengan memudarnya semangat orang-orang dikampungku menyiapkan tiang bambu dan memasang bendera Merah Putih pada hari-hari besar nasional. Mereka bahkan ada yang tidak tahu lagi ukuran tinggi tiang dan panjang-lebar bendera. Mereka pun tidak memiliki secuil kain yang dulu pernah menggetarkan dada para kesuma bangsa.

Jikalau ada sekolah, kantor atau instasi yang masih mengibarkan bendera sobek, usang dan warnanya pudar itupun sisi lain yang memperihatinkan. Mari, di setiap momen menjelang proklamasi kita mengapresiasinya kembali. Memberikan hormat bukan menjadikannya Tuhan. Tapi mengenang bahwa pernah ada jiwa-jiwa pahlawan yang bermoral dan karenanya kita berhutang yang telah mengantar kita bisa menghirup udara kemerdekaan!

Mengibarkan dan menghormati kembali sang Saka Merah Putih adalah mengobarkan dan menghayati kembali kejiwaan dan moralitas para pahlawan kusuma bangsa.

Selasa, 17 April 2012

Jalan Santai, Kembali ke Khittah


Menjadi seorang pamong praja di kantor kecamatan, saya berkesempatan terlibat dan bersentuhan dengan beragam kelompok dan aktivitas sosial kemasyarakatan. Pada 24 Nopember 2010, saya didaulat mewakili Camat yang berhalangan hadir karena tugas tertentu. Saya harus sampaikan pidato pendek sekaligus mengibarkan bendera star jalan santai peringatan Hari PGRI Ranting Pagedongan. Beberapa bagian yang saya sampaikan saya tulis ulang selepas turut jalan santai. 

Konstelasi politik di Banjarnegara saat itu agak dinamik karena hampir mendekat pemilihan bupati dan wakil bupati. Tidak hanya orpol yang rajin bergerilya akan tetapi sebagian elite ormas dan golongan profesi pun sudah mulai dirembesi kepentingan politik praktis. tidak jarang pada suasana semacam itu, ajang olah raga dan kesenian menjadi upaya mobilisasi politik. Pokok pikiran dibawah ini saya sampaikan di Lapangan Ponjen Pagedongan.

Yang mulia para guru dan karyawan dilingkungan Dinas Pendidikan serta anak-anakku yang saya cintai.
Kaum shaleh memadang, keberadaan sepasang orang tua dan kedudukan seorang guru amatlah agung.  Orang tua melahirkan jiwa, para guru membentuk jiwa. Orang tua menanam budi pekerti, para guru menyiraminya supaya ajaran moral tumbuh subur. Pandangan itu masih terus bertahan. Hingga kemudian terjadi reduksi saat kehadiran media massa menguat dan peran orang tua dan guru merosot.
Faktor eksternal telah menyempitkan peran pendidikan. Proses pendidikan di sekolah menyempit tinggal semacam teknis pengajaran. Pengajaran pun dianggap hanya situasi belajar dan mengajar di dalam kelas (Komarudin Hidayat). Bahkan, pengajaran guru dalam kelas, hampir tidak bersambung dengan apa yang tengah terjadi diluar sekolah. Pengetahuan yang berkembang sangat teks book. Tidak merentas keluar, gagal menginspirasi kehidupan siswa sehari-hari.

Merenungkan hari  lahir salah satu organisasi terbesar  guru,PGRI, berarti kembali ingatan kita tentang krida guru di era sekarang. Saat Rh. Khusnan merintis kelahiran organisasi guru tahun 1945 di Solo, ia menekankan bahwa “guru adalah pembentuk jiwa, pembangun masyarakat”.  Guru tidak sekedar menyampaikan pengetahuan kepada para siswa, namun memahat kepribadiannya dengan kharakter berbudi luhur. Ilmu tidak berhenti sebagai logos (pengetahuan), juga inspiras etik dan praktik.

Kesempatan jalan sehat yang pagi ini akan kita laksanakan, dengan begitu, bukanlah hal yang tepisah dari pendidikan. Berjalan-jalan, mengamati alam, menyapa penduduk sepanjang rute perkampungan, melihat realitsas infrstruktur (perumahan, jalan, jembatan, saluran air, dsb.) di perdesaan adalah bagian dari pendidikan pula. Kita akan mengasah kewaskitaan, kepekaan, dan kedekatan dengan masyarakat kampung. Bukankah pendidikan kita juga memiliki salah satu tujuan yang demikian?
Jalan sehat juga memberi kebugaran pada tubuh sekaligus jiwa. Kata pepatah Yunani, “men sana in corpora sano” (dalam tubuh yang sehat, akan bersemayam jiwa yang kuat). Jangan balik bertanya, mengapa ada orang yang tinggi besar, sehat dan kuat pula, tapi jiwanya kerdil? Pepatah ini memang ditujukan bagi para atlet olimpicus di Yunani, bahwa dengan rajin berolahraga dan bertanding secara fair maka seorang akan memiliki jiwa yang kuat dan bersih.  

Kalau jalan santai ini betul-betul dilandasi keinginan seperti diatas, maka tercapailah segenap tujuan panitia dan pendidikan secara umum. Namun, apabila para guru memiliki maksud lain untuk kepentingan “show of force” atau penggalangan politik praktis bagi kepentingan kelompok tertentu, maka barang tentu kegiatan ini telah gagal. Bahkan bubar sama sekali sebelum bendera “start” ini saya kibarkan.
Marilah kita terus menerus mawas diri. Usia 65 tahun bagi organisasi, mungkin sama dengan usia 30 tahun bagi seseorang. Saatnya PGRI menjadi dewasa dan menjaga obor semangat pendidikan di negeri ini tidak padam. Langkah-langkah “mencerdaskan kehidupan bangsa” tentu amat mulia dan jangan sampai dikotori dengan “moral hazart” politik praktis. Mari kami ajak PGRI kembali pada kithahnya, seperti ditegaskan sang pendiri: membentuk jiwa, membangun masyarakat.

Dengan ucapan Bismillahirahman nirrahiim, maka Jalan Santai memperingati HUT ke-65 PGRI Ranting Kecamatan Pagedongan, pagi ini saya berangkatkan!